Rabu, 27 Juni 2007


London - Salah satu yang paling susah dalam sepakbola -- atau mungkin ini refleksi dari kehidupan -- bukanlah meraih sukses melainkan menjaganya.

Terlalu banyak contoh dalam dunia sepakbola di mana satu klub memeteor dalam waktu yang cepat tapi kemudian hancur berkeping-keping tidak lama sesudahnya. Mereka terbakar oleh ambisi sendiri atau saling berebut rejeki kesuksesan sehingga lupa bahwa kesuksesan harus dipupuk supaya terus subur.

Arsenal bukanlah salah satu klub yang seperti itu. Sejak mereka menjadi salah satu kekuatan dominan dalam persepakbolaan Inggris di tahun 1930-an, mereka selalu bisa menjaga tradisi itu hingga sekarang.

Tetapi kini mereka betul-betul sedang menghadapi ujian.

Kepergian maskot enigmatik mereka, Thierry Henry, mengorek retak yang menganga di dalam klub bola London Utara yang selama ini tidak pernah diketahui oleh orang luar.

Kepergiannya, seperti diakui oleh Henry sendiri, bukanlah kepergian biasa tetapi dipicu akan kekhawatiran ambruknya klub berlogo meriam itu. Ia hengkang sebelum kapal karam.

Pertanyaannya: bagaimana mungkin Henry pergi ketika ia dilihat sebagai salah satu pilar kontinuitas kesuksesan klub? Bukankah ia personifikasi kesuksesan di lapangan? Bukankah ia yang akan menjadi katalisator generasi baru bintang Arsenal? Sedemikian parahkah retak didalam?

Jawaban dari sekian banyak pertanyaan ini mungkin "ya" semuanya. Selama 10 tahun terakhir kesuksesan Arsenal berpilar pada tiga elemen.

Pertama adalah visi David Dein, salah satu anggota dewan direktur Arsenal yang belum lama ini mengundurkan diri. Dialah yang membawa Arsene Wenger ke Arsenal, mencomotnya dari Nagoya Grampus Eight di belantara persepakbolaan Jepang. Tak ada yang mendukung tindakannya, tak ada yang menyatakan persetujuannya, namun toh ia tak peduli. Ia melihat kualitas yang tidak dilihat orang lain. Ia tahu Wenger seorang pelatih yang cerdas dengan kemampuan di atas rata-rata. Dalam kalimat Henry, "Dein adalah pusar yang menghubungkan pemain dan pelatih dengan dewan direktur."

Perebutan kekuasaan di tubuh klub membuatnya tersingkir. Dukungan Dein untuk Stan Kroenke, pengusaha Amerika yang memegang saham terbesar di Arsenal, membuatnya dimusuhi oleh sesama anggota dewan yang ingin membatasi pengaruh Kroenke. Dein melihat suntikan dana dari Kroenke merupakan hal yang esensial untuk menyuburkan kesuksesan Arsenal dan meningkatkan kemampuan bersaing Arsenal melawan klub besar Eropa maupun Inggris.

Kedua, tentu saja Wenger. Ialah arsitek di lapangan. Ia berulangkali mengeluhkan minimnya dana yang dipunyai klub untuk bersaing dengan klub lain. Ia mempunyai kemampuan hebat untuk memoles pemain tak dikenal dari pelosok penjuru dunia untuk menjadi bintang. Tetapi ia tidak bisa melakukan itu selamanya. Dan keterpurukan Arsenal di musim lalu hanya memperkuat kekhawatirannya akan ketertinggalan Arsenal dari klub lain, kecuali ada suntikan dana yang cukup.

Mundurnya Dein yang menjadi sekondan utamanya di dewan direktur membuatnya enggan memastikan perpanjangan kontrak. Ia tinggal mempunyai kontrak untuk satu musim kompetisi lagi. Dan ini jelas membuat pemain muda ataupun kaliber dunia berpikir dua kali untuk pindah ke Arsenal. Buat apa, toh Wenger akan pergi dalam satu tahun lagi.

Kembali mengutip Henry: "Tidak ada individu yang lebih besar dari klub. Namun kalaupun ada, maka Dein dan Wenger jelas masuk dalam kategori itu."

Elemen ketiga tentu saja pemain. Dan Henry seperti saya kemukakan adalah maskot dan personifikasi kesuksesan di lapangan. Khawatir dua elemen kesuksesan hengkang, iapun ikut hengkang terlebih dahulu.

Bayangkan Arsenal setahun ke depan, tanpa David Dein, tanpa Arsene Wenger, tanpa Thierry Henry. Dewan direktur Arsenal harus bekerja lebih keras untuk menjaga agar kapal tidak tenggelam. Karena oleng dan bocor tampaknya sudah hampir pasti.

Sumber : BeritaBola.Com

0 komentar: